Minggu, 22 September 2013

serangan umum slamet riyadi

Serangan Umum Surakarta atau juga disebut Serangan Umum Empat Hari berlangsung pada tanggal 7 -10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Menurut catatan sejarah, serangan itu digagas di kawasan Monumen Juang 45, Banjarsari, Solo. Untuk menyusun serangan, para pejuang berkumpul di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen dari situlah ide untuk melakukan serangan umum dikobarkan.

Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi. Untuk menggempur markas penjajah, serangan dilakukan dari empat penjuru kota Solo. Rayon I dari Polokarto dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto). Sementara itu Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV dikomandani A Latif (almarhum), serta Rayon Kota dipimpin Hartono. Menjelang pertengahan pertempuran Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut serta dan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya pertempuran.

Kegagalan Tentara Kerajaan Belanda mempertahan Kota Solo menggoyahkan keyakinan Parlemen Belanda atas kinerja tentaranya. Sehingga memaksa perdana menteri Drees terpaksa mengakomodasi tuntutan delegasi Indonesia sebagai syarat sebelum mereka bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar.[1]

Gencatan Senjata Indonesia vs Belanda

Pada tanggal 3 Agustus 1949 pukul 22.00 malam, Panglima Besar Jenderal Sudirman memerintahkan penghentian tembak-menembak mulai 11 Agustus 1949 untuk wilayah Jawa dan 15 Agustus 1949 untuk wilayah Sumatera. Untuk itu maka sebelum tanggal tersebut pihak Brigade V/Panembahan Senopati pimpinan Letkol Slamet Riyadi dan Detasemen TP Brigade XVII pimpinan Mayor Achmadi berencana menggunakan kesempatan sebelum gencatan senjata tersebut untuk mendapatkan posisi dan merebut kedudukan musuh di Kota Solo agar pihak Belanda tahu bahwa TNI masih ada taring, nyali dan tetap bertekad bukan saja dengan tujuan tersebut di atas, tapi tetap akan mengusir Belanda.Untuk itu diadakan rencana serangan umum terhadap Kota Solo.

Perlu diketahui juga bahwa seperti TNI di Jogja, pihak TNI di Solo juga mengadakan serangan umum sebelumnya agar dapat diketahui perkiraan kekuatan lawan, kedudukan lawan dan data-data di lapangan.Semenjak Jogja diserahkan ke Ri bulan Juli 1949, sebagian kekuatan tentara Belanda ditarik Ke Solo, sehingga menambah kekuatan yang ada sebelumnya. Serangan pertama dilakukan pada tanggal 8 Februari 1949 sedang yang kedua dilakukan tanggal 2 Mei 1949.

Peristiwa menjelang Serangan Umum Solo

Sebelum serangan umum Solo ada beberapa peristiwa yang mendukung keberhasilan pejuang dalam pertempuran ini, antara lain:
  • Serangan di Jembatan Cluringan, mendapatkan 1 Bren dan 2 LE.Tentara Belanda yang selamat dalam peristiwa tersebut akhirnya mengalami gangguan jiwa. Sedang barang-barang pribadi milik serdadu Belanda yang tewas dikembalikan pihak TP Brigade XVII kepada komandan Belanda setelah gencatan senjata.
  • Pembelotan satu kompi TBS ( Teritoriale Batalyon Surakarta) bentukan Belanda dengan membawa 8 Bren, 30 Sten dan 80 senapan.

Selain dua peristiwa di atas pada tanggal 3 Agustus 1949, letnan jenderal Van Vreeden diam-diam memerintahkan penyerangan ke markas Kolonel Gatot Subroto sekaligus menghancurkan pemancar RRI di Desa Balong, Kecamatan Jenawi padahal rencana gencatan senjata sudah diumumkan demi memperkuat posisi tawar pihak militer.[2] Meski tidak sesuai target karena markas Kolonel Gatot Subroto dan pemancar RRI sudah pindah ke tempat lain, hal ini mempertebal keyakinan para pejuang bahwa Belanda masih berniat melakukan pelanggaran gencatan senjata kembali.

Awal mula Serangan Umum Solo

Sebagaimana tanggungjawab dan tugas yang diemban oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi, mengharuskannya untuk selalu berkeliling dan berpindah tempat, guna melakukan koordinasi dan konsolidasi pasukan yang tersebar di berbagai SWK. Seperti terjadi pada awal Agustus 1949, Letnan Kolonel Slamet Riyadi sedang berada di pos Rayon I, wilayah Bekonang, sekitar delapan kilometer sebelah timur kota Solo. Pada saat bersamaan, ia ikut mendengarkan laporan yang disampaikan oleh KaStaf Rayon I, kepada yang diwakilinya yaitu komandan Rayon I (Rayon Timur), dalam rapat yang diadakan oleh Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106 Arjuna. Dalam rapat komando yang mengundang seluruh komandan Rayon itu (seluruhnya ada lima Rayon), Komandan SWK 106 Arjuna mengeluarkan surat Perintah Siasat No. 1/8/Swk/A-3/Ps-49, tentang serangan besar-besaran ke dalam kota, pada 7 Agustus 1949. Segera setelah itu Slamet Riyadi kembali ke markas komandonya dan mengeluarkan Surat Perintah No. 0181Co.P.P.SJ 49, tertanggal 8 Agustus 1949, berisi perintah mengadakan serangan perpisahan tanggal 10 Agustus 1949, menjelang dilaksanakannya gencatan senjata tanggal 11 Agustus 1949 (berlaku mulai pukul 00.00.

Penting diketahui, bahwa perintah siasat yang dikeluarkan oleh Mayor Akhmadi tersebut hanya ditujukan bagi seluruh pasukan yang dipimpinnya, yaitu Sub Wehrkreise (SWK) 106 Arjuna, yang terdiri dari lima rayon, dengan wilayah operasi kota Solo dan sekitarnya. Situasi yang berkembang di awal Agustus 1949 itu, berkaitan dengan perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Presiden RI tentang penghentian permusuhan, yang sempat memunculkan terjadinya kesalah-pahaman di antara pimpinan WK I (Letnan Kolonel Slamet Riyadi) dan pimpinan SWK 106 Arjuna (Mayor Akhmadi), demikian pula dengan jajaran di bawahnya. Persoalan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh staf Gubernur Militer II dan Gubernur Militer II selanjutnya menyerahkan kebijaksanaan penanggulangan gencatan senjata kepada Mayor Akhmadi, dengan kedudukan sebagai Komandan KMK (komando militer kota) Solo.

Perbandingan kekuatan antara Belanda dan Indonesia

Kekuatan Belanda di Solo

Solo merupakan kota yang dinilai penting oleh Belanda dalam melancarkan invasinya ke Indonesia sehinga merupakan kota yang diperkuat oleh tentara Belanda terbaik, bahkan pemimpin Tentara Belanda di Solo Kolonel Van Ohl adalah tentara profesional dengan pengalaman yang cukup tinggi dari PD I sampai jadi tentara Belanda di pengasingan waktu Belanda jatuh ke tangan Jerman, ia seorang komandan yang sangat dihormati oleh anak buahnya dan kolega2nya seperti Kolonel Van Langen yang menduduki Yogyakarta.

Sebelum Juli 1949

Ada 5 batalyon termasuk pasukan TBS dan Polisi Federal, pada saat sebelum Juli 1949 posisi tentara tersebar di wilayah Republik yang baru dikuasai sehingga tidak memungkinkan melakukan konsentrasi kekuatan. Apalagi fokus tentara Belanda ada pada Yogyakarta yang dinilai lebih penting daripada Solo, mengingat perannya sebagai Ibukota RI pada waktu itu.

Setelah Juli 1949

Ada tambahan dari wilayah sesuai perjanjian Roem Royen hingga di Solo menumpuk kurang lebih 11 Batalyon. Adapun posisi tentara Belanda pada berada pada
  • Posisi Tentara Belanda :
Panggung Jebres, Margoyudan, Banjarsari, Villa Gantiwarno, Kompleks Balapan, Beteng, Purbayan, Timur Pasar Legi, Timuran, Suryosuwitan, Ngapeman, Museum Radya Pustaka, Pengadilan Solo, Asrama Banteng, Kodim lama, Baron, Gereja Gendengan dekat SGM, Sanggrahan, Purwosari, Korem di Kerten, Jurug, dan Gading.
  • Posisi Polisi Belanda/Federal:
Jagalan, Pasar Legi, Sosietet Mangkunegaran, Beskalan, Serengan dan Sanggrahan.
  • Pasukan TBS:
Mangkunegaran, Balapan dan Ngemplak.
Setelah penambahan pasukan Belanda sebagai akibat penarikan mundur dari Yogyakarta, bisa dikatakan bahwa Tentara Belanda yang ada di Solo merupakan yang terkuat dan terbaik di era invasi Belanda ke Indonesia. Dari kuatnya konsentrasi Tentara Belanda di Solo, bisa disimpulkan bahwa Belanda belum menyerah dalam usahanya menaklukan Indonesia.

Kekuatan TNI/Polisi

  • MBB Brimob , Komisaris Utomo
  • MBK Brimob Karesidenan
  • Kompi Zeni TP atau TGP
  • Detasemen TP Brigade XVII Mayor Ahmadi
  • Brigade V/Panembahan Senopati, Letkol Slamet Riyadi termasuk pasukan TP Sturm Abteilung.
Persenjataan pasukan pejuang pada waktu itu boleh dikatakan kurang lengkap, karena yang membawa senjata outomatis bren gun hanya sekitar 15 orang, sedangkan lainnya senjata otomatis ringan. Yang membuat peristiwa itu sangat berkesan adalah berkiprahnya seorang yang bernama Kapten Prakoso (Mantan Rektor UNS), sebagai Komandan Kompi (Cie) I TP.

Jalannya pertempuran

Pada tanggal 7 agustus 1949 dimulai SU pada pukul 06.00 pagi. Pada hari tersebut pasukan SWK 106 Arjuna telah menyusup dahulu dan mulai menguasai kampung-kampung dalam kota Solo. Ketika waktu ditetapkan telah tiba pasukan TNI yang telah masuk kota menyerang dari semua penjuru, memaksa tentara Belanda terkonsentrasi di markas-markas mereka. Serangan itu meliputi markas komando KL 402 Jebres, sebuah pos di Jurug, Jagalan, kompleks BPM-Balapan, serta markas artileri medan di Banjarsari.

Pada hari kedua 8 Agustus 1949, pertempuran berlangsung hingga tengah malam, TNI membantu serangan itu dengan memasang berbagai rintangan di jalan-jalan di sekitar daerah Pasar Kembang. Namun Belanda mencium rencana itu, kemudian menangkapi orang-orang yang berada di sekitarnya. Terdapat 26 (dua puluh enam) orang, termasuk wanita dan anak-anak yang berhasil ditangkap pihak Belanda, 24 (dua puluh empat) di antaranya dihabisi. Ke 24 orang itu terdiri dari 10 (sepuluh) orang laki-laki, termasuk seorang anggota TNI/TP, 6 (enam) orang wanita, dan 8 (delapan) anak-anak. Pada saat itulah seluruh pasukan dari SWK (Sub Wehrkreis) 100 sampai 105 mulai dikerahkan untuk membantu serangan hari pertama dengan sasaran seluruh kota Solo dan Letnan Kolonel Slamet Riyadi mulai memegang komando mengantikan Mayor Akhmadi.

Tambahan pasukan ini semakin memperkuat serangan pasukan SWK 106 yang intinya dari DEN TP Brigade XVII.Akibatnya pasukan Belanda semakin terdesak karena pasukan dari Brigade V menyekat kekuatan lawan dan menghambat bantuan lawan di luar kota Solo. Konvoi Belanda dari Semarang bahkan tidak dapat memasuki kota Solo karena dihambat oleh pasukan TNI di Salatiga.

Untuk membantu pasukanya yang terjebak di Solo, Belanda bahkan mulai mengerahkan 2 Bomber (tdk diketahui jenisnya) dan 4 pesawat P-51 ditambah pasukan para yang diterjunkan ke Lanud Panasan (Adisoemarmo sekarang). Tapi bantuan ini gagal mengubah arah pertermpuran dimana Tentara Belanda di Solo makin terkepung dan hampir seluruh bagian kota Solo dikuasai oleh TNI.

Pada hari ketiga, 9 Agustus 1949 dikisahkan, Belanda semakin membabi-buta dalam membalas serangan, dibantu oleh pasukan KST (Korps Spesiale Troepen), menembak setiap lelaki yang dijumpainya. Dalam peristiwa ini, seorang komandan regu Seksi I Kompi I, Sahir gugur di daerah pertempuran Panularan.

Hari keempat, 10 Agustus 1949 sebagaimana diperintahkan oleh komandan Wehrkreise I Brigade V, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, TNI melaksanakan serangan perpisahan menandai akhir masa serangan umum empat hari. Dengan demikian meningkatkan moril pasukan gerilya TP. Pertempuran itu terus berlangsung hingga tengah malam, menjelang dimulainya masa gencatan senjata pada pukul 00.00 tanggal 11 Agustus 1949. Sementara itu pihak tentara Belanda, sebagai pembalasan atas tewasnya 2 (dua) anggota KL, pada hari yang semestinya sudah berlaku gencatan senjata, yaitu pukul 11.00, memaksa keluar rumah baik penduduk lelaki maupun wanita, untuk kemudian membantainya, serta membakar rumah mereka dengan alat penyembur api. Peristiwa ini terjadi di daerah Pasar Nangka. Tercatat 36 (tiga puluh enam) nyawa melayang akibat tindakan ini, termasuk 5 (lima) wanita dan seorang bayi.

Secara taktis, serangan hari keempat ini berhasil menguasai seluruh wilayah kota. Pada kesempatan itu, Letnan Kolonel Slamet Riyadi selaku komandan Wehrkreise I (Brigade V/II) memerintahkan kepada Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106, untuk menarik seluruh pasukan ke garis tepi kota, sebagai pelaksanaan ceasefire order, atau gencatan senjata. Memang pada kenyataannya pelaksanaan gencatan senjata tidak sesegera itu berlangsung dengan aman. Masih terjadi beberapa insiden yang melibatkan kedua belah pihak yang bertempur. Satu di antaranya berlangsung di sebelah Timur Gapura Gading, berlangsung baku tembak dari arah pos Belanda ke arah 2 (dua) anggota TNI, yang mengakibatkan satu di antaranya gugur, satu luka ringan. Insiden ini berawal dari upaya pihak Belanda yang mencoba menambah pasukan dengan meminta bantuan dari Semarang, dalam hal ini pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap) atau KST. Tanpa mengindahkan mulai berlakunya masa gencatan senjata, pasukan yang dikenal kejam ini pada sekitar pukul 2 atau 3 dinihari justru melakukan pembantaian di markas PMI (Palang Merah Indonesia), di wilayah Gading. Adalah kediaman Dr. Padmonegoro, ketua PMI cabang Surakarta yang menjadi sasaran serangan itu, saat itu menjadi tempat mengungsi sebagian penduduk sekitar. Kekejaman tentara Baret Hijau Belanda ditunjukkan dengan membantai para pengungsi dengan tanpa melepaskan tembakan sama sekali, namun dengan cara menyembelihnya. Dalam pembantaian dini hari ini, tercatat 14 (empat belas) petugas PMI gugur, ditambah 8 (delapan) orang pengungsi tewas, sementara 3 (tiga) orang lainnya yang juga menjadi korban penyembelihan tidak sampai tewas.

Korban di kedua belah pihak

Dalam pertempuran selama empat hari tersebut, 109 rumah penduduk porak poranda, 205 penduduk meninggal karena aksi teror Belanda , 7 serdadu Belanda tertembak dan 3 orang tertawan sedangkan dipihak TNI 6 orang gugur. Dari minimnya korban yang jatuh di kalangan TNI, menunjukkan meningkatnya kinerja TNI dalam melakukan serangan oftensif dibandingkan ketika melakukan serangan Umum 1 Maret.

Peristiwa setelah Serangan Umum Solo

Di Solo

Pada tanggal 11 Agustus terjadi banyak pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap) atau KST yang menewaskan banyak penduduk sipil antara lain: di Sambeng-32 orang tewas, di pasar Nongko-67 tewas,di Serengan-47 orang tewas,di Padmonegaran Gading-21 tewas,di Pasar Kembang-24 orang tewas. Situasi tersebut mendorong terjadinya pertempuran apalagi pasukan TNI terutama pihak DEN II TP Brigade XVII tidak mau menerima perjanjian ini karena hampir seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangan umum tersebut dan pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar pada tanggal 11 agustus 1949.

Selain itu Mayor Akhmadi juga mengeluarkan kebijakan yang berbeda dan menimbulkan situasi kontradiktif. Kebijakannya ini dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, tetap memegang teguh tugasnya sebagai komandan Komando Militer Kota (KMK Solo), dengan tugas teritorialnya, berdasar pengangkatan langsung dari MBAP (Markas Besar Angkatan Perang) pada bulan April 1948. Dalam kaitan ini, tugas-tugas lebih sering diperintahkan langsung oleh Panglima Tertinggi Divisi II/Gubernur Militer Jawa Tengah yang berkedudukan di Sala, Kolonel Gatot Soebroto, yang pada saat gencatan senjata diberlakukan masih dalam keadaan sakit dan berada di Yogyakarta. Kedua, sebagai pemimpin tertinggi militer wilayah Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto belum mencabut instruksinya No. 16A tertanggal 18 Juni 1949, yang salah satu instruksinya berbunyi: “anggota angkatan Perang dan Pegawai Pemerintah Sipil, sekeluarnya instruksi ini harus berjuang terus, selama belum ada perintah cease fire dari kami sendiri, meski ada perintah dari instansi manapun”. Untuk menegaskan sikapnya itu, Mayor Akhmadi mengeluarkan instruksi No. 1/Dari/Cdt/8-49 tanggal 11 Agustus 1949, pukul 24.00:
  • Tidak bertanggung jawab atas penarikan mundur pasukan-pasukan.
  • Bertekad tetap bertanggung jawab menjaga keselamatan dan ketenteraman rakyat.
  • Apabila Belanda mengganggunya, maka komandan-komandan sektor harus bertindak di daerahnya masing-masing. (Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan Sekitarnya, 137.)

Demikianlah, pada satu sisi, terdapat perintah untuk menarik mundur pasukan dengan kembali ke posisi semula (pos-pos), pada lain pihak masih memegang teguh perintah untuk menempati posisi yang berhasil direbut. Di tengah situasi sebagaimana dipaparkan di atas, di kediaman Ir. Seseto Hadinegoro, atau Istana Kembang Banowati di jalan Bayangkara, berlangsung kontak resmi antara Komandan Pasukan Belanda, Kolonel Van Ohl, dengan Komandan Brigade V/II, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Pertemuan sebagai tindak lanjut gencatan senjata yang berlangsung dari pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30 itu membuahkan kesepakatan sebagai berikut:
  • Untuk mengurangi terjadinya perselisihan, Kol. Ohl meminta dengan sangat:
  1. TNI ditarik mundur ke tepi batas kota.
  2. Rintangan-rintangan jalan disingkirkan.
  • Pihak Belanda berjanji:
  1. Teror Belanda tak akan terulang.
  2. Tidak akan diadakan pembalasan terhadap rakyat yang membantu TNI.
  3. Teroris-teroris telah diurus oleh Krijgsraad (pengadilan).
  4. Mulai tanggal 12-8-1949 pasukan Belanda akan dikonsinyir di tempat masing-masing.
  • Setiap teror dari pihak Belanda supaya dilaporkan kepada Komandan TNI.
  • Penyerahan kota Solo akan diserahkan dalam bulan ini juga (Agustus 1949).(Ofensif TNI Empat Hari di Kota Solo dan Sekitarnya, 130)
Menindak lanjuti hasil pertemuan ini Letnan Kolonel Slamet Riyadi sebagai Komandan Wehrkreise I segera mengeluarkan Perintah Harian kepada seluruh jajarannya untuk menaati perintah Presiden Panglima Tertinggi/Panglima Perang tertanggal 3 Agustus 1949 tentang gencatan senjata, untuk dilaksanakan.

Sempat terjadi perbedaan pendapat antara Brigade V dengan Den II TP Brigade XVII.Mayor Ahmadi berpegang teguh pada perintah Panglima Divisi II Kol Gatot Subroto.Mayor Ahmadi menginstruksikan agar pasukan TP tetap dalam sektor masing-masing dengan posisi terakhir dan tidak bertanggung jawab terhadap penarikan pasukan ke batas kota dan memerintahkan apabila Belanda melanggar lagi agar ditindak oleh masing-masing sektor. Sedang pihak Brigade V berpegang teguh pada : Berlakunya gencatan senjata tanggal 3-10 agustus 1949, yang berminat berunding adalah Belanda yang sedang terdesak, dan mengurangi kekejaman pasukan Belanda terhadap sipil. Sebagai tanggung jawab seorang komandan, akhirnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi mengeluarkan penjelasan secara panjang lebar tentang proses perundingan serta kesepakatannya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Penjelasan yang diberikannya disertai rasa tanggung jawab akhirnya dapat diterima dan dipercayai oleh pasukanya.

Di lain pihak, setelah mendengar laporan perkembangan situasi dari anak buahnya, Kepala Staf Gubernur Militer II, Letnan Kolonel Suprapto akhirnya mengambil dua tindakan, yaitu mengutus dua orang anggota TP untuk menemui dan meminta ketegasan sikap Gubernur Militer, tentang situasi mutakhir. Kedua, Kepala Staf mengeluarkan instruksi No. 16/In/Ks/8/I, tanggal 16 Agustus 1949, berisi; “secara formil, dengan didasarkan atas instruksi atasan yang tertentu situasi yang tercipta dalam hubungan kita dengan pihak Belanda belum dianggap resmi.”

Situasi ini akhirnya dapat didinginkan oleh Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto, setelah dikeluarkannya Perintah Harian No. 18/Ks/PH/8/I, tanggal 18 Agustus 1949, yang isinya memerintahkan kepada komandan Brigade V/Div. II, untuk menyerahkan penyelesaian dan penyelenggaraan akibat situasi yang dicapai dengan penghentian tembak-menembak, kepada komandan SWK 106 Arjuna. Dengan kewenangannya, Mayor Akhmadi menindak-lanjuti perundingan gencatan senjata dengan kesepakatan: pihak Indonesia menempati daerah yang telah didudukinya dan pihak Belanda di tempat semula. Pada tanggal 24 Agustus 1949 urusan keamanan kota diserahkan kepada Mayor Ahmadi selaku Komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo.

Di Jakarta

Segera setelah meninjau lokasi pertempuran Solo, Jendral Vreeden segera terbang kembali ke Jakarta dan menemui Komisaris Tinggi Lovink. Dengan nada emosional, ia menuduh TNI telah mengacaukan gencatan senjata dan menyarankan diadakan aksi polisionil ketiga. Tetapi hal ini ditolak oleh Lovink karena ia ragu atas kemampuan tentara Belanda apalagi setelah mendapat laporan mengenai kegagalan pasukan Belanda menghalau serangan TNI di Solo.[3]

Pengaruh Serangan Umum Solo

Serangan Umum Tentara Pelajar Solo (DETASEMEN-II / BRIGADE-17 TNI), 8 Pebruari 1949, 2 Mei 1949 dan 7 – 10 Agustus 1949 yang kala itu terbukti berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag, sehingga berujung dicapainya Kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949 dapat berdampingan dengan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. Hal ini terjadi karena Belanda sadar bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.

Rujukan

  1. ^ Pour, Julius. Ign. Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS, h. 192. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.ISBN 9789792238501 9792238506.
  2. ^ Pour, Julius. Ign. Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS, h. 190. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.ISBN 9789792238501 9792238506.
  3. ^ Pour, Julius. Ign. Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS, h. 191. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.ISBN 9789792238501 9792238506.

Pranala luar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar